Senayan
Kelangkaan
tahu-tempe akibat mahalnya harga kedelai disebabkan ketidakmampuan
pemerintah mengelola tata niaga kedelai. Pasokan terganggu karena
pemerintah terlalu bergantung pada kedelai impor. Repotnya, Amerika
Serikat yang selama ini memasok kedelai ke Indonesia sedang didera musim
kering sehingga produksi hasil pertaniannya merosot.
"Ketergantungan
terhadap impor merupakan cermin dari ketidakberdayaan pemerintah untuk
menjaga ketahanan pangan nasional. Saya khawatir akan timbul gejolak
sosial mengingat pangan merupakan persoalan fundamental," kata Setya
Novanto, anggota Fraksi Partai Golkar, di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (27/7).
Produksi
kedelai dalam negeri paling tinggi mencapai 900 ribu ton. Sedangkan
kebutuhan nasional terhadap komoditi ini mencapai 2,6 juta. Jadi, kurang
1,7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebab itulah,
pemerintah mengimpor kedelai dari Amerika Serikat dan negara lainnya.
Tetapi,
jika hal ini dibiarkan, maka setiap tahun Indonesia akan selalu
bergantung pada impor sehingga rentan terhadap gejolak kenaikan harga.
Harga makin bergejolak karena para importir kedelai juga bermain. Dari
sini industri kecil seperti produsen tahu dan tempe terkena imbas.
Pedagang kecil yang berbahan baku tahu dan tempe semisal penjual
gorengan dan warung makanan pun ikut terkena dampak.
"Fraksi
Golkar khawatir, sesungguhnya kenaikan harga kedelai saat ini sudah
identik dengan praktik kartel dan permainan segelintir importir. Sebagai
solusi jangka pendek, pemerintah harus memberikan akses lebih kepada
koperasi dan industri kecil untuk mengimpor kedelai sendiri," katanya
Senayan - Ketua Komisi IV DPR M Romahurmuziy menyarankan pemerintah untuk menggunakan dana kontingensi pangan pada APBN 2012 untuk mengatasi krisis kedelai.
Menurut Romahurmuziy, DPR telah menganggarkan Rp 2 triliun pada APBN 2012 sebagai dana darurat ketahanan pangan. "Kalau semula seluruhnya diproyeksikan untuk darurat beras, pemerintah bisa men-switch sebagian anggaran tersebut untuk insentif penanaman kedelai pada Musim Tanam (MT) III/2012, mengingat pada ARAM II BPS diproyeksikan pertumbuhan produksi gabah sudah berada di level yang cukup aman pada 4,31 persen," kata, panggilan akrab Romahurmuziy, dalam rilisnya, Kamis (26/7).
Romy menambahkan, dengan insentif petani untuk Upsus (Upaya Khusus) kedelai sebesar Rp 1 juta per hektare, pada MT III/2012 bisa dialokasikan 500 ribu hektare, sehingga total bisa dialokasikan Rp 500 miliar. Dengan adanya Upsus untuk tambahan luas tanam 500 ribu hektare dan produktivitas yang meningkat mencapai 1,75-2 ton per hektare, maka akan ada tambahan produksi 875 ribu-1 juta ton produksi kedelai pada akhir MT III/2012.
"Sehingga dengan proyeksi produksi kedelai ARAM II BPS pada 779 ribu ton, total dengan tambahan upsus dari dana kontingensi bisa mencapai antara 1,654 juta ton sampai dengan 1,779 juta ton. Maka pada akhir tahun ini Insya Allah krisis kedelai bisa diakhiri," kata politisi PPP ini.
Menurut Romahurmuziy, DPR telah menganggarkan Rp 2 triliun pada APBN 2012 sebagai dana darurat ketahanan pangan. "Kalau semula seluruhnya diproyeksikan untuk darurat beras, pemerintah bisa men-switch sebagian anggaran tersebut untuk insentif penanaman kedelai pada Musim Tanam (MT) III/2012, mengingat pada ARAM II BPS diproyeksikan pertumbuhan produksi gabah sudah berada di level yang cukup aman pada 4,31 persen," kata, panggilan akrab Romahurmuziy, dalam rilisnya, Kamis (26/7).
Romy menambahkan, dengan insentif petani untuk Upsus (Upaya Khusus) kedelai sebesar Rp 1 juta per hektare, pada MT III/2012 bisa dialokasikan 500 ribu hektare, sehingga total bisa dialokasikan Rp 500 miliar. Dengan adanya Upsus untuk tambahan luas tanam 500 ribu hektare dan produktivitas yang meningkat mencapai 1,75-2 ton per hektare, maka akan ada tambahan produksi 875 ribu-1 juta ton produksi kedelai pada akhir MT III/2012.
"Sehingga dengan proyeksi produksi kedelai ARAM II BPS pada 779 ribu ton, total dengan tambahan upsus dari dana kontingensi bisa mencapai antara 1,654 juta ton sampai dengan 1,779 juta ton. Maka pada akhir tahun ini Insya Allah krisis kedelai bisa diakhiri," kata politisi PPP ini.
Senayan - Urusan melonjaknya
harga kedelai saat ini tidak bisa semata-mata dibebankan kepada
Kementerian Pertanian. "Ini mengaburkan akar permasalahan yang
sebenarnya," ujar Anggota komisi XI DPR RI Kemal Azis Stamboel di Jakarta, Kamis (26/7).
Inti permasalahan pangan adalah produktivitas pertanian yang masih rendah sehingga kapasitas produksi tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik. Dan jika berbicara tentang produktivitas pertanian, maka ada dua faktor yang paling menentukan.
"Yakni ketersediaan kecukupan lahan dan dukungan pembangunan infrastruktur dasar pertanian. Dua hal ini bukan domain Kementerian Pertanian tapi Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pekerjaan Umum," jelasnya.
Kemal menegaskan bahwa harus ada kerjasama yang sinergis antara Kementerian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pekerjaan Umum dalam menggenjot produksi pangan nasional.
Sebagai contoh kasus kedelai ini, lahan yang tersedia untuk produksi kedelai hanya sekitar 600 ribu hektar lahan, itu pun tidak seratus persen untuk tanam kedelai saja. Padahal kalau mau mencapai swasembada kedelai dibutuhkan sekitar 1,5 juta hektar lahan pertanian. Disinilah letak inti permasalahan.
"Bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan lahan pertanian jika konversi lahan pertanian ke non pertanian terus terjadi hingga mencapai 100 ribu per hektar per tahunnya. Kondisi ini semakin rumit jika kita melihat betapa tidak jelasnya regulasi yang mengatur hak kepemilikan dan penggunaan lahan," paparnya lagi.
Bukan hanya masalah lahan, masalah infrastruktur dasar pertanian kita juga sangat memprihatinkan.
"Dari jumlah saluran irigasi terpadu, lahan sawah yang baru terairi hanya sekitar 36%. Dari total bendungan atau dam yang berjumlah 273, ada 5 yang mengalami rusak ringan dan sedang, dan 14 rusak berat sedangkan lahan sawah yang terairi oleh bendungan yang ada hanya sekitar 7%," ujarnya.
Inti permasalahan pangan adalah produktivitas pertanian yang masih rendah sehingga kapasitas produksi tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik. Dan jika berbicara tentang produktivitas pertanian, maka ada dua faktor yang paling menentukan.
"Yakni ketersediaan kecukupan lahan dan dukungan pembangunan infrastruktur dasar pertanian. Dua hal ini bukan domain Kementerian Pertanian tapi Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pekerjaan Umum," jelasnya.
Kemal menegaskan bahwa harus ada kerjasama yang sinergis antara Kementerian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pekerjaan Umum dalam menggenjot produksi pangan nasional.
Sebagai contoh kasus kedelai ini, lahan yang tersedia untuk produksi kedelai hanya sekitar 600 ribu hektar lahan, itu pun tidak seratus persen untuk tanam kedelai saja. Padahal kalau mau mencapai swasembada kedelai dibutuhkan sekitar 1,5 juta hektar lahan pertanian. Disinilah letak inti permasalahan.
"Bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan lahan pertanian jika konversi lahan pertanian ke non pertanian terus terjadi hingga mencapai 100 ribu per hektar per tahunnya. Kondisi ini semakin rumit jika kita melihat betapa tidak jelasnya regulasi yang mengatur hak kepemilikan dan penggunaan lahan," paparnya lagi.
Bukan hanya masalah lahan, masalah infrastruktur dasar pertanian kita juga sangat memprihatinkan.
"Dari jumlah saluran irigasi terpadu, lahan sawah yang baru terairi hanya sekitar 36%. Dari total bendungan atau dam yang berjumlah 273, ada 5 yang mengalami rusak ringan dan sedang, dan 14 rusak berat sedangkan lahan sawah yang terairi oleh bendungan yang ada hanya sekitar 7%," ujarnya.
Senayan - Ketua DPR
Marzuk Alie menilai kebijakan Pemerintahan SBY-Boediono untuk
membebaskan sementara bea masuk kedelai adalah langkah yang cepat dan
tepat untuk mengatasi kenaikan harga kedelai yang mencekik para pengusa
tempe dan tahu.
"Yang penting pemerintah merespon cepat. Kenaikan harga kedelai kan disebabkan gagal panen di AS yang membuat harganya melonjak. Ini diantisipasi dengan membebaskan bea masuk untuk sementara," ujar Marzuki di Jakarta, Kamis (26/7).
Setelah harga kembali normal, menurutnya bea masuk kedelai akan kembali diterapkan. Hal ini bertujuan untuk melindungi para petani kedelai lokal. "Kondisi sekarang yang diuntungkan kan petani kedelai kalau tidak terlibat tengkulak. Petani harus tetap dilindungi," jelas Marzuki.
Untuk menanggulangi hal ini, Marzuki juga menjelaskan bahwa peran Bulog akan dikembalikan seperti semula. "Dulu kan Bulog. Setelah krisis, dipangkas semua wewenangnya. Kini pelan-pelan kita kembalikan sehingga Bulog bisa mengambil langkah-langkah yang perlu agar tidak ada gejolak harga seperti pada kedelai," imbuh dia.
Sementara itu anggota Komisi IV DPR Ma'mur Hasanuddin menilai bahwa pembebasan bea masuk impor kedelai hingga akhir tahun bukan solusi yang tepat dan hanya akan menguntungkan importir tanpa diikuti oleh perbaikan tata niaga Pemerintah.
"Kebijakan Pemerintah saat ini hanya mampu meredam gejolak harga kedelai dalam jangka pendek, bukan menyelesaiakan masalah untuk jangka panjang," ujar Mak'mur.
"Yang penting pemerintah merespon cepat. Kenaikan harga kedelai kan disebabkan gagal panen di AS yang membuat harganya melonjak. Ini diantisipasi dengan membebaskan bea masuk untuk sementara," ujar Marzuki di Jakarta, Kamis (26/7).
Setelah harga kembali normal, menurutnya bea masuk kedelai akan kembali diterapkan. Hal ini bertujuan untuk melindungi para petani kedelai lokal. "Kondisi sekarang yang diuntungkan kan petani kedelai kalau tidak terlibat tengkulak. Petani harus tetap dilindungi," jelas Marzuki.
Untuk menanggulangi hal ini, Marzuki juga menjelaskan bahwa peran Bulog akan dikembalikan seperti semula. "Dulu kan Bulog. Setelah krisis, dipangkas semua wewenangnya. Kini pelan-pelan kita kembalikan sehingga Bulog bisa mengambil langkah-langkah yang perlu agar tidak ada gejolak harga seperti pada kedelai," imbuh dia.
Sementara itu anggota Komisi IV DPR Ma'mur Hasanuddin menilai bahwa pembebasan bea masuk impor kedelai hingga akhir tahun bukan solusi yang tepat dan hanya akan menguntungkan importir tanpa diikuti oleh perbaikan tata niaga Pemerintah.
"Kebijakan Pemerintah saat ini hanya mampu meredam gejolak harga kedelai dalam jangka pendek, bukan menyelesaiakan masalah untuk jangka panjang," ujar Mak'mur.