Rabu, 18 Mei 2011

Aktivitas Terorisme di Penjara

Ini Kata Media

"Teroris Buat Pemerintah Bayangan di Penjara"

Penjara bukan lokasi yang efektif untuk menanggulangi terorisme.

VIVAnews -- Bahwa penjara menjadi ajang perekrutan dan regenerasi teroris sudah diketahui Kepolisian Indonesia. Namun, hasil penelitian terbaru Institut Kebijakan Strategis Australia (Australian Strategic Policy Institute) menunjukkan fakta mencengangkan: para teroris membentuk pemerintahan bayangan di balik jeruji penjara.

Seperti dimuat theaustralian.com.au, Rabu 18 Mei 2011 malam, di balik sel, teroris melakukan perekrutan anggota, mengirimkan uang dari penjara ke penjara, dan setidaknya sekali, para teroris bahkan mengkoordinasi aksi teror.

Tak hanya itu, hasil penelitian menunjukkan, para narapidana terorisme juga menjalankan bisnis, menggunakan telepon genggam untuk berkotbah pada pengikut di luar, dan mendominasi masjid penjara.

Dalam laporan berjudul 'Jihadist in Jail' atau 'Berjihad di Penjara', Dr Carl Ungerer menggambarkan, bagaimana para teroris memanipulasi sistem penjara dan mengatasi batasan-batasan bergerak dalam bui.

Ini  justru akan memperkuat ancaman teroris, menciptakan pertemanan dan aliansi antara teroris yang bahkan mampu menyeberang batasan tradisional organisasi.

Misalnya, anggota kelompok yang sebelumnya bermusuhan, seperti Jemaah Islamiyah dan Darul Islam, bekerja sama satu sama lain dalam demi jihad.

Kesimpulan yang dihasilkan Dr Ungerer berdasarkan hasil wawancara ekstensif atas namanya pada lebih dari 30 militan, baik yang berada di penjara maupun dalam tahanan Polri.

Dalam laporannya disebutkan, para teroris menjalankan usaha kecil di balik penjara, seperti menjual kartu isi ulang telepon genggam, membuka warung makan, mejual minyak dan gula.

Sementara, penghuni penjara Cipinang di Jakarta diketahui mengirimkan sejumlah uang pada rekannya yang berada di Lapas Batu, Nusakambangan, Cilacap -- yang dikenal sebagai 'Alcatraz'-nya Indonesia. Sementara, telepon genggam dan barang terlarang lainnya diselundupkan ke tahanan teroris.

Kasus yang paling buruk adalah sipir Lapas Kerobokan, Benni Irawan pada tahun 2005 menyelundupkan komputer jinjing (laptop) ke terpidana Bom Bali, Imam Samudra yang saat itu menunggu eksekusi mati.  "Terungkap kemudian bahwa  laptop yang digunakan oleh Imam Samudra digunakan untuk berkomunikasi dengan dengan militan  lainnya dan membantu merencanakan bom Bali kedua," kata  laporan itu. Untuk diketahui, Imam Samudra dan dua rekannya dieksekusi pasukan tembak di Nusakambangan pada 9 November 2008.

Laporan itu menyimpulkan penjara bukan lokasi yang efektif menanggulangi terorisme, juga untuk mengubah perilaku para teroris. "Justru status menjadi narapidana teroris membantu meningkatkan reputasi dan pengaruh mereka dalam penjara," demikian sebut laporan tersebut.

Sebab, mereka yang dinyatakan bersalah atas tuduhan terorisme biasanya dianggap oleh setiap orang di sekitar mereka sebagai orang saleh, bersedia menyerahkan nyawa mereka untuk agama. Juga dianggap berbahaya.

Indonesia telah menangkap hampir 700 orang selama dekade terakhir atas tuduhan teroris dan lebih dari 200 di antaranya dibui.

Tercatat, beberapa narapidana teroris tak merasa jera tapi justru terlibat aksi teror yang diarahkan pada polisi dan kelompok non-muslim yang terjadi baru-baru ini.

Termasuk yang diwawancara adalah Fajar Taslam, yang dinyatakan bersalah membunuh seorang guru Kristen pada 2005, dan mencoba untuk membunuh seorang pastur Katolik pada 2007. Ia mengatakan, "jika dibebaskan hari ini, ia akan mengebom kedutaan AS di Jakarta".

Sementara, Sonhadi, yang dihukum karena menyembunyikan Noordin Top, mengatakan bahwa mantan tahanan, "memegang status tinggi dalam masyarakat setelah menjalani hukuman di balik jeruji besi".

Meski tak memiliki program terkait residivis, juru bicara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Indonesia membantu mereformasi penjara.

Dimintai tanggapan, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, Komisaris Besar Boy Rafli Amar mengatakan, tindakan terorisme tak hanya di penjara. "Bisa berkembang di mana saja," kata dia, kepada VIVAnews.com, Rabu malam. "Polisi sudah membawa mereka ke penjara, yang memiliki otoritas selanjutnya adalah pihak Lapas."
Baca juga, hasil penelitian peneliti Amerika Serikat soal cara mengurangi radikalisme teroris dalam penjara di sini.

Ditjen LP Bantah Penjara Tempat Aksi Teroris

Penelitian lembaga Australia yang menyebut teroris bebas berkontak di bui tak terbukti.

VIVAnews - Hasil penelitian Institut Kebijakan Strategis Australia (Australian Strategic Policy Institute) menunjukkan hal yang mengagetkan: para teroris membentuk 'pemerintah bayangan' di balik jeruji penjara.

Seperti dimuat theaustralian.com.au, Rabu 18 Mei 2011 malam, di balik sel, teroris bebas beraksi dengan melakukan perekrutan anggota, dan mengirimkan uang dari penjara ke penjara. Bahkan, setidaknya sekali, para teroris mengkoordinasi aksi teror.

Namun, penelitian ini dibantah Juru Bicara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Akbar Hadi Prabowo. Sekarang, hasil penelitian itu tidak bisa dibuktikan.

"Penelitian tersebut jika dikorelasikan dengan kondisi sekarang sudah tidak terbukti. Mungkin kalau dulu bisa jadi terbukti," kata Akbar kepada VIVAnews, Rabu malam, 18 Mei 2011.

Akbar mencontohkan, perbedaan jumlah tahanan di Lembaga Permasyarakatan yang berbeda pada masa lalu dengan sekarang. Lapas di Cipinang misalnya, jika dulu memuat 4000 narapidana, maka sekarang 1300 narapidana.

"Sekarang lapas Cipinang dibagi menjadi beberapa bagian, seperti LPK I, Rutan Cipinang, Rutan Narkoba, dan Rutan Tipikor titipan KPK. Jadi dengan adanya perubahan kondisi dan kuantitas napi kita dapat mengontrol para napi," kata Akbar.

Saat ini Dirjen Lapas sedang melakukan kerjasama dengan Densus 88, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), dan pihak Australia terkait tahanan kasus terorisme.

"Jika dalam penelitian tersebut dicantumkan ada kerjasama Australia dengan Dirjen Lapas, itu memang betul. Bukan hanya itu, kami juga kerja sama dengan pihak-pihak terkait dan menghasilkan alat ukur yang dinamakan alat VERA (Violent Extreme Risk Assesment)," jelas Akbar.

"Jadi alat ini dapat membantu kami untuk mengklasifikasi tingkat resiko dari napi yang melakukan tindakan kekerasan dan ekstrem. Dengan cara itu kami dapat mengetahui bagaimana menangani napi teroris," lanjut dia.(np)
:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar